Jakarta, mataramanews.com – Ombudsman RI menemukan maladministrasi pada pelayanan kepesertaan dan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan. Tindakan maladministrasi yang ditemukan mulai dari tidak kompeten dalam mengakuisisi kepesertaan hingga adanya penundaan pelayanan.
Temuan tersebut didapat usai Ombudsman menerima aduan dan melakukan investigasi pada bulan Oktober-November 2021. Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan dokumen, permintaan keterangan dan pemeriksaan lapangan di 12 wilayah di Indonesia, yakni DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Bali dan Sulawesi Selatan.
“Tim Ombudsman menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan terbukti maladministrasi berupa tindakan tidak kompeten, penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut,” kata Anggota Ombudsman Hery Susanto dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (6/7/2022).
Hery menyebut BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal dalam melakukan akuisisi kepesertaan. Dia juga mengatakan BPJS Ketenagakerjaan tidak menyampaikan informasi aktual terkait jumlah kepesertaan.
“BPJS Ketenagakerjaan tidak optimal melakukan akuisisi kepesertaan pada sektor tenaga kerja formal (PU) dan informal (BPU). Tidak ada bentuk aktualisasi pencapaian yang disampaikan kepada publik secara reguler berkaitan kepesertaan pada sektor tenaga kerja informal (BPU), yaitu penahapan program jaminan sosial sebagaimana diatur pada Perpres 109 tahun 2013 dalam pasal 7 dan 8 yaitu pekerja bukan penerima upah wajib mengikuti arah menjadi peserta program jaminan sosial paling lambat 1 Juli 2015,” ujarnya.
Hery menuturkan BPJS Ketenagakerjaan juga belum menerapkan optimalisasi pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga dianggap tidak terbuka dalam menyampaikan informasi jumlah pekerja PHK yang sudah mengklaim manfaat.
“BPJS Ketenagakerjaan belum melakukan langkah konkret untuk mengawal dan menindaklanjuti pelaksanaan instruksi presiden Nomor 2 tahun 2021 tentang optimalisasi pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan. Tidak ada transparansi dalam pengumuman informasi berkait jumlah pekerja PHK yang berhasil melakukan klaim manfaat dan sebaliknya,” tuturnya.
Herry mengatakan belum ada identifikasi peserta tidak aktif yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan serta pendistribusian kepada mereka yang berhak menerima manfaat. BPJS Ketenagakerjaan dinilai belum transparan dalam melakukan pengelolaan keuangan.
“BPJS Ketenagakerjaan belum melakukan identifikasi peserta tidak aktif dan distribusi hak kepesertaan yang dimiliki oleh peserta. Pengelolaan keuangan dalam hal investigasi belum dilakukan secara transparan dengan rincian, juga tidak ada bentuk akuntabilitas yang memadai untuk dapat diakses oleh peserta, yaitu nominal distribusi dan penempatan dana JHT, JKK, dan JP,” imbuhnya.
Bentuk maladministrasi:
1. Tidak Kompeten
– Tidak optimal dalam akuisisi kepesertaan (PU dan BPU)
– Lemah dalam pengawasan kepatuhan terhadap perusahaan
– Tidak optimal dalam mengawal pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2021
– Kurangnya program sosialisasi dan edukasi kepada peserta dan masyarakat
– SDM pelayanan kurang optimal dalam merespons hak peserta
2. Penyimpangan prosedur
– Tidak akuntabilitas oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada agen perisai
– Pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan
– Perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJSTK
– Tidak dilakukan upaya penyelarasan regulasi untuk optimalisasi akun kepesertaan dan pelayanan klaim manfaat
3. Penundaan berlarut
– Pelayanan pencairan klaim manfaat (JHT, JKM) masih terjadi hambatan.
Tindakan korektif terhadap Dirut BPJS Ketenagakerjaan:
1. Melakukan sosialisasi, koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan akuisisi kepesertaan pada sektor PU, BPU, pegawai pemerintah non-ASN dan termasuk program afirmasi bantuan iuran (PBI), dengan menyusun rencana dan penahapan akuisisi kepesertaan.
2. Menyiapkan struktur organisasi kerja dan SDM yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas untuk mendukung terselenggaranya program yang diamanatkan oleh regulasi termasuk dalam merespon tuntutan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial.
3. Berkoordinasi dengan pihak pemerintah, pelaku usaha dan pekerja dalam hal penetapan batas usia pensiun agar dibuat regulasi dan ketetapan yang relevan mengenai batas usia penerima manfaat jaminan pensiun.
4. Konsisten dalam penggunaan nama BPJS Ketenagakerjaan sesuai undang-undang.
Tindakan korektif terhadap Menko Perekonomian:
1. Agar membuat perencanaan dan penyiapan peraturan pemerintah terkait program bantuan iuran atau PBI (Penerima Bantuan Iuran) terhadap pekerja yang berstatus penyandang masalah sosial, sesuai amanat pasal 19 ayat 5 huruf d UU 24 Tahun 2011.
2. Menyusun perencanaan bagi penyempurnaan regulasi yaitu revisi Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian menyatakan Peserta program JKK dan JKM terdiri dari Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dan Peserta bukan penerima Upah, agar pegawai di instansi pemerintah dapat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
3. Membuat perencanaan bagi penyempurnaan regulasi dan atau mengusulkan kepada DPR RI untuk dilakukan yaitu revisi Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS ketenagakerjaan, dan revisi Pasal 55 yang menyebutkan bahwa Pemberi Kerja tidak membayarkan iuran dengan sanksi ancaman pidana denda dan kurungan. Seharusnya bagi
pelanggaran berupa tidak menjalankan kewajiban mendaftarkan Pekerja sebagai Peserta BPJS dapat diberikan sanksi yang setara berupa denda dan pidana.
4. Membuat perencanaan bagi penyempurnaan regulasi dan atau mengusulkan kepada revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, untuk penguatan pengawas ketenagakerjaan yang memadai dari sisi kewenangan, jumlah dan kompetensi, dalam rangka penegakan aturan kewajiban Pemberi Kerja dalam hak
kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi Pekerja.
Komentar